Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan
melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah.
"Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya.
Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah,
"Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek".
"Iya..." jawab sang Ayah.
Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.
Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam,
"besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya
Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini
tak berjinjing buah kesukaannya itu.
Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar,
"jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya".
Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa".
Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke
nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia
cukup uang di kantong, tidaklah masalah.
Bagaimana jika sebaliknya?
Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi
setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang
belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak
bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan
listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur,
dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.
Tidak
sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum,
meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua
Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar
mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.
Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali
gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat
lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan
rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat,
bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.
Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah
sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi
menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam
penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang
dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.
Tak jarang para Ayah
yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai
atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik
meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak
pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena
yang penting teredam sudah gundah hari itu.
Teramat banyak para
isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga
larut namun yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana,
lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur
tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir
setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya.
Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah
yang mesti ia tuntaskan.
Sungguh, diantara sekian banyak Ayah
itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar
menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam
mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan
malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang
Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia
genggam.
Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan
hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah
usai.
Ayah ini meyakini bahwa Allah tidak akan menguji seorang
hamba kecuali sebatas hamba tersebut mampu memikulnya, dan Ia selalu
berprasangka baik kepada Allah dengan meyakini bahwa tiada cobaan yang
tidak berakhir dan Jalan keluar selalu akan datang kepada hamba-hamba
yang hanya bersandar pada pertolongan dan kasih sayangNYA semata.
Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus
menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan
gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau
berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak
dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa
setelah tertangkap basah mencopet.
Dan saya, sebagai Ayah, akan
tetap menggenggam gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka
terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua
keluh dan gundahnya.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon