Beberapa waktu lalu Pak Anies Baswedan, shok berat melihat data bahwa Indonesia
berada di urutan 63 dari 65 negara dalam hal literasi. Angka ini
menunjukkna wajah bangsa kita yang memang nggak suka baca, apalagi
menulis. Dalam hal membaca buku sastra, negara seperti Singapura,
malaysia setiap siswa minimal membaca 5 buku per tahun. Negara Eropa
bisa puluhan buku per siswa per tahun. Indonesia? NOL buku per siswa per
tahun! Dengan geram penyair Taufiq Ismail bilang orang Indonesia itu
tuna baca, pincang nulis. Disuruh baca nggak suka, diminta nulis nggak
terampil. Siapa yang salah?
Coba tanya apa yang sudah sekolah lakukan untuk "memaksa siswa suka baca?" Setiap ngisi acara di hadapan guru, saya selalu bertanya, siapa yang sebulan terakhir ini menamatkan satu buku? Biasanya tidak ada yang angkat tangan. Di luar sana, sejak TK, anak akan sellau dibekali buku untuk dibawa ke rumah, dan mereka "dipaksa" untuk membaca dan menceritakannya. Rendahnya budaya literasi kita juga andil dari kita para orangtua yang tidak serius menanamkan budaya literasi pada anak-anak kita. Coba lihat anggaran belanja bulanan kita. Berapa persen yang lari ke toko buku? Keberatan paling umum yang dihadapi para Book Advisor ketika menawarkan buku pada konsumen adalah "kok bukunya mahal sekali, sih?" Tetapi nilai uang yang sama dengan ringan digelontorkan di butik, FO dan pusat kuliner, atau untuk membeli pulsa dan paket internet.
Makanya Kementrian pedidikan sekarang mencanangkan gerakan literasi besar-besaran. Semua sekolah wajib baca buku (di luar buku pelajaran) minimal 15 menit sebelum memulai jam pelajaran. Anggaran sekolah didorong untuk dibelanjakan buku.
Beberapa minggu lalu saya menghadiri peluncuran gerakan literasi untuk provinsi DKI. Apk Satia Darma ketua Ikatan Guru Indonesia menyampaikan ceramah yang bagus. kepada forum dia bertanya ...
"Ibu-ibu kenapa pakai kerudung?"
"Karena perintah Allah" jawab ibu-ibu
"Berapa kali Allah dalam Al-Quran menyuruh ibu-ibu pakai kerudung?"
ibu-ibu diam karena tidak ada yang tahu
"Hanya satu kali" kata pak satia, "tahukan ibu-ibu berapa banyak ayat yang memerintahkan membaca dan menulis?"
ibu-ibu diam karena tidak ada yang tahu
"33 kali!"
"Kira-kira mana yang lebih penting mana perintah yang diulang sampai 33 kali dengan perintah yang hanya satu kali?"
Menurut saya pertanyaan ini sangat mengagetkan meski bisa juga disalahtafsirkan, misalnya ... "Oh jadi membaca lebih penting dari pakai jilbab". Bukan itu poinya.
Tapi, memakai jilbab adalah penting karena kewajiban, tapi membaca buku sangat-sangat penting wajibnya dikali 33! Jadi kalau pakai jilbab nggak suka baca buku, berarti menjalankan 1 kewajiban tetapi meninggalkan 33 kewajiban. Kira-kira begitu pesan pak Satia saat itu.
Orang Islam kini ribut dengan ini syar'i atau tidak, padahal syari'at baru berlaku efektif 13 tahun setelah dakwah Islam, hal pertama (dan utama) yang Allah pesankan adalah IQRA. Kewajiban menutup aurat bisa kita temukan juga di kitab injil dan taurat. Tapi hanya di Al-Quran yang memuat perintah membaca, bahkan ayat yang pertama turun. Syari'at tak akan tegak tanpa ilmu.
Pasca perang badar, pasukan muslim menawan bbrp tentara Quraiys. Kalau ditebus, nilainya bisa 800 dinar per orang (kalau 1 dina 1,5juta, nilainya udah lebih dari 1M). Tapi nabi memberi pilihan pada mereka, kalau si tawanan itu bisa mengajarkan baca tulis, maka dia bisa bebas! Bisa saja nabi meminta tawanan itu untuk mengajarkan dagang, atau latihan berperang. Tapi nabi meminta mereka mengajarkan baca tulis. Apa manfaaatnya baca tulis untuk masyarakat gurun 14 abad lalu? Perlu kita tahu, saat itu tak ada buku yang bisa di baca!
Tapi nabi itu visioner, beberapa ratus tahun berikutnya Islam jaya karena suburnya tradisi literasi. Sejarah Islam dipenuhi tokoh-tokoh tukang baca dan tukang nulis....
Al-Thabari, seorang mufassir dan sejarawan Islam menulis 40 halaman setiap hari! Selama 40 tahun dalam masa-masa hidupnya, yang bila dijumlahkan seluruhnya menjadi 584.000 halaman.
Ibn Sina kitab al-Inshaf selama 6 bulan, 28.000 halaman. Setiap jilid berisi 1000 halaman tebalnya. Itu hanya 1 dari kurang lebih 196 karya/kitab yang pernah ia tulis. Semua karya ini ia tulis dalam masa hidupnya yang 57 tahun. Jika dirata-ratakan maka ia bisa menulis 3-4 judul buku pertahun.
Al-Kindi, filosof muslim periode awal telah menulis sebanyak 270 judul kitab.
Bangsa kita juga didirikan oleh bapak-bapak bangsa yang gila baca jago nulis...
Buya Hamka juga penggila buku. Jika ke toko buku/kitab, dia sering kehabisan uang karena semua dibelikan buku. Dia menulis sekitar 80 buku.
Bung Hatta, pulang dari belanda, dibuang ke digul, selalu membawa koleksi bukunya yang berkotak-kotak besar. Ketiak menikah, mas kawinnya buku.
Sukarno, saat dipenjara juga kerajaannya baca dan menulis.
Ahmad Dahlan, saat pulang ke Indonesia dari Makkah, konon bukunya hampir memenuhi gerbong.
Ada pertanyaan besar: agama kita ajaran pertamanaya adalah Iqro. Sejarah Islam adalah sejarah literasi. Bangsa ini dibangun oleh founding fathers yang cinta buku. Lalu kenapa indonesia no 63 dari 65 negara dalam hal literasi?
Mangga dijawab masing-masing!
NB: Oh ya, khusus untuk pengguna facebook salam dari Mark Zuckerberg. Sementara kita menghabiskan waktu baca status di FB, pembuat FB ini malah sibuk menikmati membaca Muqaddimah Ibn Khaldun yang konon versi asilnya 4 jilid setebal gambreng. Ada yang udah tamat baca karya Ibn Khaldun?
Coba tanya apa yang sudah sekolah lakukan untuk "memaksa siswa suka baca?" Setiap ngisi acara di hadapan guru, saya selalu bertanya, siapa yang sebulan terakhir ini menamatkan satu buku? Biasanya tidak ada yang angkat tangan. Di luar sana, sejak TK, anak akan sellau dibekali buku untuk dibawa ke rumah, dan mereka "dipaksa" untuk membaca dan menceritakannya. Rendahnya budaya literasi kita juga andil dari kita para orangtua yang tidak serius menanamkan budaya literasi pada anak-anak kita. Coba lihat anggaran belanja bulanan kita. Berapa persen yang lari ke toko buku? Keberatan paling umum yang dihadapi para Book Advisor ketika menawarkan buku pada konsumen adalah "kok bukunya mahal sekali, sih?" Tetapi nilai uang yang sama dengan ringan digelontorkan di butik, FO dan pusat kuliner, atau untuk membeli pulsa dan paket internet.
Makanya Kementrian pedidikan sekarang mencanangkan gerakan literasi besar-besaran. Semua sekolah wajib baca buku (di luar buku pelajaran) minimal 15 menit sebelum memulai jam pelajaran. Anggaran sekolah didorong untuk dibelanjakan buku.
Beberapa minggu lalu saya menghadiri peluncuran gerakan literasi untuk provinsi DKI. Apk Satia Darma ketua Ikatan Guru Indonesia menyampaikan ceramah yang bagus. kepada forum dia bertanya ...
"Ibu-ibu kenapa pakai kerudung?"
"Karena perintah Allah" jawab ibu-ibu
"Berapa kali Allah dalam Al-Quran menyuruh ibu-ibu pakai kerudung?"
ibu-ibu diam karena tidak ada yang tahu
"Hanya satu kali" kata pak satia, "tahukan ibu-ibu berapa banyak ayat yang memerintahkan membaca dan menulis?"
ibu-ibu diam karena tidak ada yang tahu
"33 kali!"
"Kira-kira mana yang lebih penting mana perintah yang diulang sampai 33 kali dengan perintah yang hanya satu kali?"
Menurut saya pertanyaan ini sangat mengagetkan meski bisa juga disalahtafsirkan, misalnya ... "Oh jadi membaca lebih penting dari pakai jilbab". Bukan itu poinya.
Tapi, memakai jilbab adalah penting karena kewajiban, tapi membaca buku sangat-sangat penting wajibnya dikali 33! Jadi kalau pakai jilbab nggak suka baca buku, berarti menjalankan 1 kewajiban tetapi meninggalkan 33 kewajiban. Kira-kira begitu pesan pak Satia saat itu.
Orang Islam kini ribut dengan ini syar'i atau tidak, padahal syari'at baru berlaku efektif 13 tahun setelah dakwah Islam, hal pertama (dan utama) yang Allah pesankan adalah IQRA. Kewajiban menutup aurat bisa kita temukan juga di kitab injil dan taurat. Tapi hanya di Al-Quran yang memuat perintah membaca, bahkan ayat yang pertama turun. Syari'at tak akan tegak tanpa ilmu.
Pasca perang badar, pasukan muslim menawan bbrp tentara Quraiys. Kalau ditebus, nilainya bisa 800 dinar per orang (kalau 1 dina 1,5juta, nilainya udah lebih dari 1M). Tapi nabi memberi pilihan pada mereka, kalau si tawanan itu bisa mengajarkan baca tulis, maka dia bisa bebas! Bisa saja nabi meminta tawanan itu untuk mengajarkan dagang, atau latihan berperang. Tapi nabi meminta mereka mengajarkan baca tulis. Apa manfaaatnya baca tulis untuk masyarakat gurun 14 abad lalu? Perlu kita tahu, saat itu tak ada buku yang bisa di baca!
Tapi nabi itu visioner, beberapa ratus tahun berikutnya Islam jaya karena suburnya tradisi literasi. Sejarah Islam dipenuhi tokoh-tokoh tukang baca dan tukang nulis....
Al-Thabari, seorang mufassir dan sejarawan Islam menulis 40 halaman setiap hari! Selama 40 tahun dalam masa-masa hidupnya, yang bila dijumlahkan seluruhnya menjadi 584.000 halaman.
Ibn Sina kitab al-Inshaf selama 6 bulan, 28.000 halaman. Setiap jilid berisi 1000 halaman tebalnya. Itu hanya 1 dari kurang lebih 196 karya/kitab yang pernah ia tulis. Semua karya ini ia tulis dalam masa hidupnya yang 57 tahun. Jika dirata-ratakan maka ia bisa menulis 3-4 judul buku pertahun.
Al-Kindi, filosof muslim periode awal telah menulis sebanyak 270 judul kitab.
Bangsa kita juga didirikan oleh bapak-bapak bangsa yang gila baca jago nulis...
Buya Hamka juga penggila buku. Jika ke toko buku/kitab, dia sering kehabisan uang karena semua dibelikan buku. Dia menulis sekitar 80 buku.
Bung Hatta, pulang dari belanda, dibuang ke digul, selalu membawa koleksi bukunya yang berkotak-kotak besar. Ketiak menikah, mas kawinnya buku.
Sukarno, saat dipenjara juga kerajaannya baca dan menulis.
Ahmad Dahlan, saat pulang ke Indonesia dari Makkah, konon bukunya hampir memenuhi gerbong.
Ada pertanyaan besar: agama kita ajaran pertamanaya adalah Iqro. Sejarah Islam adalah sejarah literasi. Bangsa ini dibangun oleh founding fathers yang cinta buku. Lalu kenapa indonesia no 63 dari 65 negara dalam hal literasi?
Mangga dijawab masing-masing!
NB: Oh ya, khusus untuk pengguna facebook salam dari Mark Zuckerberg. Sementara kita menghabiskan waktu baca status di FB, pembuat FB ini malah sibuk menikmati membaca Muqaddimah Ibn Khaldun yang konon versi asilnya 4 jilid setebal gambreng. Ada yang udah tamat baca karya Ibn Khaldun?
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon