UI, ITB, UGM : Versus or Featuring?

Logo UI-ITB-UGM
“Jelas UI lah paling oke.. Siapa si yang gak kenal sama jaket kuning?”
“ITB gak tertandingi! Teknik paling bagus seIndonesia gitu..”
“UGM donk! Perusahaan kalo mau rekrut pegawai pasti yang pertama dituju UGM!”
Begitulah kira-kira perdebatan untuk memperebutkan tahta menjadi perguruan terbaik di Indonesia ini terus terjadi sejak bertahun-tahun silam. Secara kuantitatif, penilaian rangking banyak dilakukan oleh beberapa lembaga survei independen seperti QS dan Webometric. Kita bisa dengan mudah melihat siapa lebih di atas, siapa yang ada di antaranya, dan siapa yang ada di urutan terbawah (tergantung borang penilaian). [VISIT -> http://www.topuniversities.com/university-rankings/asian-university-rankings/2011]
Semua orang juga bisa membaca tabel dari QS tersebut dan melihat bahwa UI berada di urutan 50, UGM di urutan 80, dan ITB di urutan 98 se Asia. Namun, apa yang seharusnya kita interpretasikan dari data tersebut? Apakah kesimpulannya anak UI lebih unggul daripada UGM dan ITB? TIDAK, BUKAN SEPERTI ITU! Sama sekali tidak penting siapa ada di urutan berapa, yang paling esensial adalah ke arah mana kita menuju.
Jika kita lihat tabel dari situs asli QS, maka kita bisa mempelajari dengan seksama bahwasanya ada 49 universitas lain dari seluruh Asia yang posisinya ada di atas UI. Universitas-universitas unggulan di Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara-negara Asia lain seperti Hongkong, Jepang, dan Singapura.
Kenapa bisa demikian? Padahal kita tahu bahwa banyak mahasiswa baik dari UI, ITB, maupun UGM yang sangat cemerlang dan memperoleh penghargaan di tingkat internasional. Kita punya profesor-profesor yang menunjang setiap kegiatan akademis kita, fisik kampus kita bagus, fasilitas lengkap, akses terhadap informasi memadai, tetapi baik UI, UGM, dan ITB masih sulit mengejar ketertinggalan dibandingkan kampus-kampus seperti HKUST, NUS, bahkan UM (Malaysia) di level Asia ini.
Seperti ilustrasi dialog di atas, para mahasiswa kita justru lebih banyak memperdebatkan siapa yang berhak meraih posisi pertama di Indonesia, bukannya mencari tahu kenapa kita belum bisa menyalip saingan-saingan berat kita dari luar negeri. Sentimen-sentimen negatif, kepicikan, dan persaingan tidak sehat sering terjadi ketika mahasiswa UI bertemu dengan ITB juga UGM dalam berbagai ajang kompetisi. Arogansi almamater kerap dinomorsatukan daripada kebanggaan akan satu identitas yang sama, INDONESIA.
Apa saja kemungkinan yang menyebabkan mahasiswa kita menganggap kampus satu dengan lainnya harus bermusuhan? Barangkali mereka pikir hal ini menjadi salah satu ajang pertarungan hidup dan mati untuk mereka bisa mendapatkan kesempatan beasiswa ke luar negeri. Dan yang lebih krusial tentu saja alaumni kampus yang satu akan menganggap alumni kampus lain sebagai rival saat mencari pekerjaan.
Untuk itulah kita harus mulai membangun paradigma baru karena UI, UGM, maupun ITB sejatinya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Kita telah menerima amanah besar sebagai pelita peradaban ilmiah di negeri ini. Tegakah kita terus mengejar ambisi pribadi/golongan tertentu saja dan malah mengorbankan rintihan ratusan juta rakyat kita yang menanti akan kehidupan yang lebih baik di luar sana?
Seharusnya mahasiswa UI, UGM, dan ITB mulai menegakkan kembali tiang-tiang pancang negeri ini yang sudah runtuh. Pekerjaan ini bukan sesuatu yang mudah dan tidak akan mungkin bisa dilakukan sendiri. Di sinilah kita membutuhkan sinergi yang nyata antar kampus.
Kita sangat butuh untuk memulai membuka dialog untuk ikut berpikir secara kritis apa yang bisa kita lakukan bersama-sama untuk negeri ini. Banyak kombinasi prestasi antara UI, UGM, dan ITB yang bila diimplementasikan akan berdampak masif untuk masyarakat. Hal ini bisa dilakukan oleh masing-masing mahasiswa secara mandiri, tidak perlu menunggu perintah dari organisasi formal seperti BEM atau Ikatan Mahasiswa.
Setumpuk hal menyenangkan bisa kita lakukan bersama-sama, misalnya saja mahasiswa Teknik Material UI dan Teknik Material ITB bisa melakukan riset bersama untuk mengkreasikan sel surya bagi kepentingan listrik desa-desa terpencil, mahasiswa FE UI dan FE UGM bisa mulai membangun banyak UMKM untuk memberdayakan masyarakat marginal, mahasiswa Arsitektur ITB bisa bekerja sama dengan Arsitektur UGM mengikuti pameran-pameran internasional demi mempromosikan keunikan rumah-rumah tradisional Indonesia, dan terakhir ketiganya mungkin bisa ikut mengkontribusikan kemampuan terbaiknya untuk membangun sebuah industri pertambangan sehingga kita bisa terbebas dari cengkeraman perusahaan-perusahaan tambang asing yang sudah mengeruk habis kekayaan alam kita.
Dengan kerja sama tersebut, kita juga bisa ikut mendorong agar rangking ketiga kampus ini bisa lebih terangkat naik. Mungkin kita harus menjadikan target UI, UGM, dan ITB setidaknya bisa tembus 10 besar Asia. Setelah ketiga kampus tersebut bisa masuk ke 10 besar, maka ketiganya akan bisa menarik serta kampus-kampus lain di Indonesia untuk meningkatkan kualitasnya hingga merangkak naik menyusul.
Jika tiap kampus masih terus berjalan sendiri, pasti akan sulit sekali mengungguli kampus-kampus negara maju itu. Contohnya saja UI yang tahun 2009 menempati peringkat 201 terbaik dunia, tetapi tahun 2011 malah merosot menjadi rangking 217. Bagaimana nasib UI di masa depan dan apakah UGM dan ITB harus mengalami hal yang serupa?
Banyak hal lain yang bisa kita lakukan dan dapatkan sebenarnya dari sini. Ambil contoh seandainya ada salah seorang alumni UI yang kuliah di Jepang dan dia mengetahui akan ada konferensi roket internasional. Maka meskipun bukan almamaternya, ia akan tetap mengajak kawan-kawannya dari Teknik Dirgantara ITB untuk berpartisipasi. Misalnya lagi ada alumni ITB di Swiss yang mengetahui ada program short research di CERN, maka ia tidak akan sungkan mengompor-ngompori temannya dari Teknik Nuklir UGM untuk ikut mendaftar. Dan bila ada mahasiswa Komunikasi UGM mengetahui akan ada seminar mengenai submarine di London yang masih mencari nara sumber, maka dia akan langsung menawarkan untuk mengundang lulusan Teknik Perkapalan UI. Ini adalah beberapa karakter yang mengedepankan kepentingan bangsa dibandingkan egoisme pribadi.
Pola pemikiran berebut job vacancy bagi lulusan UI, UGM, dan ITB seharusnya sudah dibuang ke tong sampah sejak dulu. Untuk apa kuliah di kampus terbaik jika akhirnya kita hanya menjadi karyawan perusahaan-perusahaan asing dimana seberapa keraspun kita bekerja tidak akan pernah menyentuh jabatan teratas. Rencana hidup setelah lulus akan bertitel sebagai JOB SEEKER seharusnya diubah menjadi JOB GIVER.
Bayangkan saja, apabila banyak lulusan kampus tersebut bisa menggalang kekuatan untuk bersatu menumbuhkan industri-industri baru di negara kita, tentu negara kita seperti diberikan jet engineyang bisa membuatnya terbang ke atas dalam waktu yang singkat. Selain itu, jika alumni UI, UGM, maupun ITB yang berprestasi bisa dikumpulkan dalam satu wadah, maka kita tidak perlu repot-repot lagi mencari mata air ilmu dari negara lain.
Justru kita bisa menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maju yang menjadi tujuan orang asing untuk memperoleh pendidikan. Jadi, pemikiran-pemikiran linear bak mencari kerja setelah kuliah ataupun mengais beasiswa di luar negeri seharusnya bisa direkayasa agar kita justru yang memberi kerja serta menebarkan banyak kesempatan beasiswa.
“Para Visioner adalah orang-orang yang pemikirannya Out of The Box” (Prof Gumilar Rusliwa Soemantri – Rektor UI)
Nasionalisme bisa ditumbuhkan kapanpun, dimanapun, dan oleh siapapun. Kecintaan pada negeri ini tidak ditunjukkan dengan cara menyanyikan Indonesia Raya keras-keras di tengah Bundaran HI. Cinta butuh pembuktian, cinta butuh pengorbanan! Perasaan senasib dan seidentitas bisa menjadidriving force yang sangat baik agar kita tetap konsisten bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan 250 juta rakyat Indonesia. Hanya orang CUPU yang masih bersikap egois dan arogan.
Kita harus bisa bertindak lebih cekatan dan melihat peluang-peluang apa yang semenjak dahulu luput dari penglihatan kita. Di saat-saat kritis seperti ini, kita bukan hanya perlu berjalan maju, kita butuh loncatan besar untuk meraih cita-cita mulia bangsa ini.
“AYO BEKERJASAMA! Tidak ada peradaban besar yang bisa dibangun sendirian, sekalipun oleh orang yang hebat. Semua harus didukung dengan kerjasama, antara yang satu dengan yang lainnya.” (Eep Syaifullah)
Source: Anak UI
Previous
Next Post »
Powered by Blogger.